Sejak dulu, agama menjadi sumber inspirasi utama bagi kebudayaan di Kamboja. Hampir selama dua milenium, Kamboja mengembangkan kepercayaan Khmer yang merupakan gabungan antara kepercayaan animisme, agama Buddha, dan agama Hindu. Kultur dari India—termasuk bahasa dan kesenian—dibawa oleh orang India ke Asia Tenggara sekitar abad pertama masehi. Saat ini, budaya di Kamboja dipromosikan dan dikelola oleh Kementerian Kebudayan dan Kesenian Kamboja.
1. Sejarah Kebudayaan Kamboja
Masa keemasan Kamboja adalah antara abad ke-9 dan ke-14 masehi dibawah periode kerajaan Angkor, dimana pada saat itu merupakan kerajaan yang kuat dan sejahtera yang berhasil menguasai hampir seluruh wilayah daratan Asia Tenggara. Namun, kerajaan Angkor runtuh akibat perebutan kekuasaan dan perang melawan kerajaan yang berada di dekatnya seperti Siam dan Dai Viet. Banyak candi yang dibangun pada masa itu seperti Bayon dan Angkor Wat masih ada hingga sekarang. Candi-candi tersebut tersebar di Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam yang mengingatkan kita kepada kemegahan seni dan budaya Khmer. Seni, arsitektur, musik, dan tarian yang ada di Kamboja sekarang telah mendapat banyak pengaruh dari banyak kerajaan lain seperti Thailand dan Laos. Efek dari kultur Angkor masih dapat dilihat hingga kini di beberapa negara, kultur tersebut memiliki banyak kedekatan dengan Kamboja sekarang.
2. Arsitektur dan Rumah di Kamboja
Arsitek dan pemahat Kamboja membuat candi yang terbuat dari batu. Dekorasi Khmer terinspirasi dari agama. Dewa-dewa dari agama Hindu dan Buddha terukir pada tembok. Candi/kuil dibuat sesuai dengan aturan arsitektur Khmer Kuno yang terdiri dari susunan candi biasa ditambah dengan satu candi yang tampak mencolok ditengahnya, sebuah tembok, dan sebuah parit. Motif Khmer menggunakan banyak dewa dari mitologi Buddha dan Hindu. Contohnya seperti istana kerajaan di Phnom Penh yang menggunakan motif garuda yang merupakan burung mitologi dalam agama Hindu. Hanya sedikit bangunan yang tersisa sejak masa kerajaan Khmer. Yang tersisa hanyalah bangunan religius yang terbuat dari batu seperti candi Angkor.
Dalam kebudayaan modern Kamboja, sebuah keluarga biasanya tinggal di bangunan berbentuk petak dengan ukuran bervariasi mulai dari 4 X 6 meter hingga 6 X 10 meter. Bangunan tersebut terbuat dari bambu. Rumah Khmer biasanya berpanggung dengan ketinggian tiga meter diatas permukaan tanah untuk melindungi isi rumah dari banjir. Tangganya terbuat dari kayu. Sebuah rumah biasanya terdiri dari tiga ruangan yang dibatasi oleh bambu. Ruangan depan dijadikan ruang tamu, ruangan kedua dijadikan kamar tidur orangtua, dan ruangan ketiga dijadikan kamar tidur bagi putrinya yang belum menikah. Anak laki-laki tidur dimanapun mereka mendapatkan tempat. Anggota keluarga bersama tetangga bergotong-royong membangun rumah, serta diadakan suatu upacara bagi rumah yang baru selesai dibangun. Rumah bagi keluarga yang kurang mampu biasanya hanya terdiri dari satu ruangan besar. Dapur biasanya terletak di belakang rumah. Kamar mandi biasanya berada di sungai yang ditutupi oleh triplek. Kandang ternak biasanya dibuat dibawah rumah. Rumah orang Tionghoa dan Vietnam di kota maupun desa di Kamboja biasanya tidak berpanggung dan berlantai semen atau keramik. Rumah kaum urban dan bangunan komersial biasanya terbuat dari batu bata, beton, atau kayu.
3. Agama di Kamboja
Penduduk di Kamboja didominasi oleh penganut agama Buddha dengan 90% populasi menganut Buddha Theravada. Terdapat 1% populasi pemeluk agama Kristen dan sisanya beragama Islam, atheis, atau penganut kepercayaan animisme.
Agama Buddha telah ada di Kamboja sejak abad ke-5 masehi. Buddha Theravada telah ada di Kamboja sejak abad ke-13 masehi dan kini telah dianut oleh 90% populasi di Kamboja.
Islam adalah agama yang mayoritas dianut oleh kaum Cham (disebut juga Khmer Islam) dan minoritas kaum Melayu di Kamboja. Berdasarkan data dari Po Dharma, terdapat 150.000 sampai 200.000 penduduk Muslim di Kamboja pada tahun 1975. Semuanya menganut aliran Sunni.
Kristen dibawa ke Kamboja oleh misionaris Katholik Roma pada tahun 1660. Pada tahun 1972, terdapat sekitar 20.000 kaum Kristiani di Kamboja, kebanyakan dari mereka adalah Katholik Roma. Berdasarkan statistik dari Vatikan, pada tahun 1953, anggota Gereja Katholik Roma di Kamboja berjumlah 120.000. Hal itu membuatnya menjadi agama terbesar kedua di negara ini. 50.000 diantaranya adalah orang Vietnam dan sisanya kebanyakan orang Eropa. Berdasarkan sensus tahun 1962, terdapat 2.000 pemeluk agama Kristen Protestan di Kamboja. Terdapat sekitar 20.000 pemeluk agama Kristen Katholik di Kamboja dimana hanya 0,15% dari total populasi.
Terdapat 100.000 orang yang menganut aliran kepercayaan daerah. Seperti kaum Khmer Loeu yang menganut animisme. Mereka menggunakan nasi, air, api, batu, dll untuk melangsungkan ritual. Kaum ini biasanya menganggap tabu beberapa objek dan praktek.
4. Kehidupan di Kamboja
4.1. Ritual Kelahiran dan Kematian di Kamboja
Kelahiran bayi adalah saat yang membahagiakan bagi keluarga. Berdasarkan kepercayaan tradisional, mereka (ibu dan bayi) akan dikurung karena mereka sangat rentan terhadap dunia mistik. Seorang ibu yang meninggal saat melahirkan bayinya dipercaya akan menjadi roh yang jahat. Dalam masyarakat Khmer tradisional, wanita hamil dianggap tabu memakan beberapa makanan dan harus menghindari beberapa situasi. Tradisi ini masih berlangsung di pedesaan, namun mulai berkurang di daerah perkotaan.
Kematian tidak dilihat dengan penuh kesedihan disini; tetapi dilihat sebagai akhir dari sebuah hidup dan merupakan awal dari kehidupan selanjutnya yang diharapkan akan lebih baik dari sebelumnya. Kaum Khmer Buddha biasanya mengkremasi dan debunya disimpan di dalam sebuah stupa di dalam candi. Bendera panji putih dikibarkan—yang disebut “bendera buaya putih”—di luar rumah, yang menandakan ada seseorang di dalam rumah tersebut yang telah meninggal. Prosesi pemakaman dihadiri oleh biksu Buddha, anggota keluarga, dan kerabat yang berduka. Suami/istri dan anaknya yang ditinggalkan berduka dengan cara mencukur kepalanya dan mengenakan pakaian putih.
4.2. Masa Kecil dan Masa Remaja di Kamboja
Anak kecil di Kamboja dirawat sampai usia dua atau empat tahun. Sampai usia tiga atau empat tahun, anak diberi kasih sayang dan kebebasan. Permainan anak-anak lebih menekankan pada sosialisasi atau kemampuan ketimbang menang atau kalah.
Kebanyakan anak mulai bersekolah pada usia tujuh atau delapan. Ketika dia mencapai usia ini, mereka harus mengetahui norma kesopanan, kepatuhan, dan hormat kepada yang lebih tua dan kepada biarawan Buddha (biksu). Ayahnya bertugas untuk mengontrol anaknya dan memberikan izin kepada anaknya. Saat usia sepuluh tahun, anak perempuan membantu ibunya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga; sedangkan anak laki-laki tahu bagaimana menjaga ternak mereka dan mampu berladang bersama laki-laki lain yang lebih tua.
Para remaja biasanya bermain dengan temannya yang sesama jenis kelamin. Selama masa remajanya, laki-laki biasanya menjadi pelayan di Wihara dan menjadi calon biarawan, dimana hal itu merupakan suatu kehormatan besar untuk orangtuanya. Orangtua memiliki wewenang penuh terhadap anaknya sampai mereka menikah, dan orangtuanya tetap mengendalikan beberapa kontrol saat pernikahan.
4.3. Pacaran, Perkawinan, dan Perceraian di Kamboja
Memilih teman hidup adalah hal yang kompleks bagi laki-laki muda, dan itu mungkin melibatkan tidak hanya orangtuanya dan temannya, tetapi juga “mak comblang” dan Haora. Secara teori, perempuan dapat menolak pasangan yang dipilih orangtuanya. Pola pacaran berbeda antara orang Khmer di desa dan di kota; cinta yang romantis merupakan kebiasaan yang ada di kebanyakan kota-kota besar. Laki-laki biasanya menikah antara usia 19 sampai 25 tahun, sedangkan perempuan antara 16 sampai 22 tahun. Setelah pasangan dipilih, masing-masing keluarga saling menyelidiki satu sama lain untuk meyakinkan bahwa anaknya akan menikah bersama pasangan yang memiliki keluarga yang baik. Di pedesaan, terdapat bentuk jasa pengantin wanita; artinya, laki-laki muda bersumpah akan melayani ayah tirinya dalam jangka beberapa waktu.
Pernikahan tradisional adalah perayaan yang panjang dan berwarna. Dulunya, itu berlangsung tiga hari, tetapi pada tahun 1980-an itu berlangsung selama satu hari atau setengah hari. Pendeta Buddha melakukan upacara singkat dan mengucapkan beberapa doa. Bagian dari perayaan ini melibatkan ritual memotong rambut, mengikatkan kapas yang sudah dicelupkan ke dalam air suci pada pergelangan tangan pengantin pria dan wanita, dan melewati lilin yang ada di sekitar pasangan yang telah menikah serta memberkati pasangan tersebut sebagai satu kesatuan. Setelah pernikahan, dilakukan acara jamuan makan. Pasangan yang baru menikah secara tradisional akan tinggal bersama keluarga istri dan mungkin akan tinggal bersama mereka selama setahun, sampai mereka dapat membangun rumah baru.
Perceraian adalah legal dan relatif mudah untuk dilakukan, namun hal ini tidak umum dilakukan. Orang yang bercerai akan dilihat dengan beberapa ketidaksenangan. Masing-masing pasangan akan mempertahankan properti yang dia beli saat pernikahan, dan kepemilikannya akan dibagi menjadi dua. Hak asuh anak biasanya akan diberikan kepada ibunya, dan kedua keluarganya tetap menyumbang sejumlah uang untuk melanjutkan pendidikan anaknya. Pria yang telah bercerai dia memiliki masa menunggu sampai dia dapat menikah kembali.
Pada kenyataannya, hingga kini mayoritas orang Kamboja yang telah menikah tidak memiliki akta pernikahan yang legal. Walaupun pasangan tersebut telah menyelenggarakan upacara dan pesta pernikahan. Tetapi mereka dianggap tidak menikah secara legal. Begitu juga saat bercerai, mereka biasanya tidak memerlukan surat gugatan cerai.
5. Pakaian di Kamboja
Pakaian di Kamboja adalah salah satu aspek penting dari budaya di Kamboja. Mode orang Kamboja berbeda-beda tergantung pada suku etnis dan status sosial. Orang Khmer secara tradisional mengenakan syal kotak-kotak yang disebut Krama. “Krama” membedakan orang-orang Khmer (Kamboja) dengan tetangganya seperti orang Thai, orang Vietnam, dan orang Laos. Syal tersebut digunakan untuk beragam fungsi seperti gaya, melindungi dari matahari, dan sebagai pelindung (untuk kaki) saat mendaki pohon, membantu menggendong bayi, sebagai handuk, atau sebagai sarung. Krama dapat dengan mudah diubah menjadi boneka untuk dimainkan anak-anak.
Kain tradisional yang dikenal sebagai Sampot, adalah sebuah kostum yang terkena pengaruh dari India pada era Funan. Pakaian Khmer telah berubah seiring dengan waktu dan agama. Pada masa transisi dari era Funan ke era Angkor, terdapat pengaruh Hindu yang kuat pada pakaian di Kamboja dimana orang-orang menyukai Sampot termasuk Sarong Kor(perhiasan) yang merupakan simbol agama Hindu.
Ketika agama Buddha menggantikan agama Hindu, orang-orang Khmer mulai mengenakan blus, kemeja, dan celana. Tentunya sesuai gaya Khmer. Orang Khmer, termasuk rakyat dan keluarga kerajaan, berhenti memakai kerah bergaya Hindu dan mulai mengadopsi syal yang telah diberi dekorasi. Style ini populer pada periode Udong.
Perempuan Khmer biasa memilih warna yang pas untuk Sampot-nya berdasarkan hati nurainya sendir atau mengikuti trend yang ada.
Beberapa orang Kamboja selalu memakai pakaian bergaya religius. Beberapa pria dan wanita Khmer mengenakan bandul Buddha pada kalungnya. Fungsinya adalah untuk menjaga dari roh jahat dan membawa keberuntungan.
Keluarga kerajaan biasa mengenakan pakaian yang mahal. Sampot masih digunakan dikalangan kerajaan. Kebanyakan mereka memilih Sampot Phamuong, edisi baru dari sampot yang digunakan oleh orang Thai pada abad ke-17. Sejak periode Udong, keluarga kerajaan mempertahankan kebiasaan mereka dalam berpakaian. Mereka yang perempuan membuat pakaian yang sangat atraktif. Para wanita selalu mengenakan penutup bahu tradisional yang disebut sbai atau rabai kanorng.
Para penari mengenakan kerah yang disebut Sarong Kor di sekitar lehernya. Yang terpenting, mereka mengenakan gaun unik yang disebut Samprot sara-bhap yang terbuat dari kain sutra yang dijahit dengan menggunakan benang emas atau perak. Gaun tersebut mengkilap, dengan desain yang rumit, dan berkelip-kelip saat penari tersebut bergerak. Penari juga menggunakan sabuk yang diisi batu mulia. Banyak perhiasan yang digunakan oleh penari wanita. Seperti anting-anting, sepasang gelang, hiasan pada mata kaki, dll.
6. Kuliner di Kamboja
Kuliner Khmer mirip dengan kuliner di negara-negara Asia Tenggara lainnya terutama kuliner Thailand, Vietnam, dan Kamboja yakni menggunakan saos ikan pada sup dan tumisan. Makanan yang terkenal pengaruh dari Tiongkok seperti chha (Bahasa Khmer: tumisan) dan beragam jenis nasi goreng. Makanan Tiongkok yang paling populer adalah “sup mie dengan nasi dan daging babi”, mirip dengan phở, disebut kuy tieu. Hidangan yang mendapat pengaruh dari India kebanyakan menggunakan bahan kari. Banh chaew, kuliner VietnamBánh xèo versi Khmer, juga merupakan hidangan yang populer.
Kuliner Khmer terkenal akan penggunakan pharok-nya. Pharok adalah sejenis pasta ikan yang telah dipermentasi. Jika Pharok tidak digunakan, maka kapi dapat digunakan. Kapi adalah sejenis pasta udang terfermentasi. Santan adalah bahan baku dari berbagai jenis kari dan hidangan pencuci mulut Khmer. Orang Kamboja biasanya menggunakan nasi dengan melati atau ketan. Hidangan penutup biasanya menggunakan buah seperti durian. Hampir semua makanan dimakan bersama semangkuk nasi. Cabai dipisahkan dari makanan supaya dapat diisi sesuai selera.
7. Seni dan Sastra di Kamboja
7.1. Seni Rupa di Kamboja
Sejarah seni rupa di Kamboja dapat dilihat dari jaman kuno. Seni di Kamboja mencapai puncaknya saat periode Angkor. Seni dan kerajinan tradisional Kamboja dapat berupa tekstil, tenunan, kerajinan perak, pahatan batu, keramik, lukisan, dan layang-layang. Pada pertengahan abad ke-20, seni modern muncul di Kamboja. Seniman mendapat dukungan dari pemerintah dan wisatawan.
7.2. Musik di Kamboja
Antara tahun 60-70an, penyanyi duet Sinn Sisamouth dan Ros Serey Sothea mendapat banyak hit di negara ini. Setelah mereka meninggal, bintang musik baru berusaha untuk membawa kembali musik. Musik Kamboja telah mendapat banyak pengaruh dari budaya Barat.
Musik tradisional Kamboja biasanya terdengar saat perayaan di pagoda, saat mengadakan suatu ritual, atau sebagai musik teater. Musik ini dibunyikan oleh beberapa alat seperti roneat ek (silofon utama), roneat thung (seruling), kong vong touch dan kong vong thom (gong kecil dan besar), sampho (gendang), skor thom (dua drum besar), dan sralai.
7.3. Tarian di Kamboja
Tari di Kamboja dapat dibagi menjadi tiga kategori utama: tarian klasik, tarian daerah, dan tarian tidak resmi.
Tarian klasik Khmer adalah bentuk tarian Kamboja yang hanya dipertunjukan untuk kerajaan. Tarian ini memiliki banyak elemen dari tarian klasik Thai. Pada pertengahan abad ke-20, tarian ini dipertunjukan kepada publik dimana ini menjadi simbol dari kebudayaan Khmer. Dan dipertunjukan saat ada kegiatan publik, liburan, dan untuk wisatawan yang berkunjung ke Kamboja. Tarian klasik dikenal akan penggunaan tangan dan kaki untuk mengekspresikan emosinya dimana terdapat sekitar 4.000 gerakan berbeda pada tarian ini. Tarian ini dikenal menjadi The Royal Ballet of Cambodia (Tari Balet Kerajaan Kamboja) setelah ditetapkan menjadi warisan budaya UNESCO pada tahun 1960-an. Cerita Ramayana memberi pengaruh kuat terhadap tarian klasik Khmer dilihat dari gerakan dan alur cerita.
Tari Apsara adalah tarian Khmer yang masih ada sejak era Angkor. Tarian ini menarik wisatawan dan membuat budaya Khmer dikenal dunia. Tarian Apsara dipromosikan oleh Norodom Buppha Devi dan menjadi salah satu simbol dari Kamboja.
Tarian daerah Khmer memiliki gerakan yang tidak seanggun tarian klasik Khmer. Penari mengenakan busana yang sesuai dengan yang dia perankan seperti Chams, kepala suku, petani, dan petani miskin. Tarian ini diiringi oleh musik yang dimainkan oleh orkestra mahori.
Tarian tidak resmi Kamboja (atau tarian sosial) ditarikan saat acara sosial. Macam-macam tariannya termasuk Romvong, Rom Kbach, Rom Saravan, dan Lam Leav. Beberapa dari tarian tersebut mendapat banyak pengaruh dari tarian tradisional Laos. Tari Rom Kbach mendapat banyak pengaruh dari tarian klasik kerajaan. Tarian lainnya yang mendapat pengaruh dari globalisasi adalah Cha-Cha, Bolero, dan Madison.
7.4. Sastra di Kamboja
Tulisan sastra pertama adalah dibuat pada masa Kerajaan Khmer. Biasanya tulisan tersebut berisi tentang keturunan kerajaan, aturan keagamaan, penaklukan wilayah, dan organisasi internal dalam kerajaan.
Dokumen Khmer tertua adalah terjemahan dan ulasan teks Pali Buddhist pada Tripitaka. Dokumen tersebut ditulis oleh bhiksu pada daum palem dan tersimpan di biara.
Reamker (Bahasa Khmer: Kemashuran Rama) adalah versi Kamboja dari Ramayana, sebuah epos India yang sangat terkenal. Reamker tersusun dalam bentuk puisi dan tahapan kisahnya diadaptasi dari gerakan tari yang ditarikan oleh seniman Khmer. Reamker sering diadaptasi ke dalam teater tradisional Kamboja.
Kamboja kaya akan karya sastra lisan. Terdapat banyak legenda, kisah, dan lagu yang ada sejak jaman dulu dan tidak pernah ditulis sampai kedatangan bangsa Eropa. Salah satu kisah yang terkenal adalah kisah tentang Vorvong dan Sorvong (Vorvong dan Saurivong), sebuah cerita tentang dua pangeran Khmer yang pertama kali dijadikan dalam bentuk tulisan oleh Auguste Pavie. Warga Perancis ini mengklaim bahwa dia mendapatkan cerita ini dari Paman Nip di Distrik Somrontong. Pada tahun 2006, cerita Vorvong dan Sorvong diadopsikan ke dalam bentuk tarian oleh Balet Kerajaan Kamboja.
Tum Teav, yang bisa dibandingkan dengan cerita Romeo dan Juliet, adalah cerita yang paling terkenal, berdasarkan dari puisi yang pertama kali ditulis oleh biarawan Khmer bernama Sam. Kisah cinta tragis ini disetting pada era Lovek. Cerita ini diceritakan diseluruh Kamboja sejak pertengahan abad ke-19. Cerita ini telah diadopsi dalam banyak bentuk seperti lisan, sejarah, literatur, teater, dan bahkan film. Tum Teav juga berperan dalam pendidikan di Kamboja, contohnya adalah sebagai materi ujian bahasa Khmer di kelas 12. Terjemahan menjadi bahasa Perancis pertama kali dilakukan oleh Étienne Aymonier pada tahun 1880. Tum Teav populer di luar negeri ketika penulis George Chigas menerjemahkan versi sastranya yang ditulis pada tahun 1915 oleh biarawan Buddha terhormat Preah Botumthera Som atau Patumatthera Som, yang juga dikenal sebagai Som, salah satu penulis dalam bahasa Khmer yang terbaik.
Beberapa anggota keluarga Kerajaan Khmer yang berbakat seperti Raja Ang Duong (1841-1860) dan Raja Thommaracha II (1629-1634) telah menghasilkan karya sastra yang bagus. Raja Thomaracha menulis puisi untuk orang Kamboja yang lebih muda. Raja Ang Duong dikenal dengan novelnya yang berjudul Kakey yang terinspirasi oleh cerita Jataka tentang seorang wanita yang tidak setia. Kini, Kakey biasanya digunakan sebagai media pendidikan untuk mengajarkan gadis Khmer tentang pentingnya kesetiaan.
7.5. Teater Bayangan (Wayang) di Kamboja
Pewayangan di Kamboja biasa disebut Nang Sbek atau Lakhaon Nang Sbek. Nang Sbek mirip degan Nang Yai di Thailand, Wayang di Malaysia dan Indonesia khususnya yang berada di pulau Jawa dan Bali. Nang Sbek mungkin berasal dari Indonesia atau Malaysia sejak berabad-abad yang lalu. Seni ini mulai memudar seiring perkembangan hiburan modern. Sebelum ada film, video, dan televisi, warga Khmer sering menikmati pertunjukan wayang ini. Terdapat tiga macam teater bayangan di Kamboja:
- Nang Sbek Thom adalah seni yang melibatkan mimik, musik sebagai pengiring tarian, dan narasi.
- Nang Sbek Toch yang juga disebut Nang Kalum dan sesekali disebut Ayang. Menggunakan wayang yang lebih kecil dengan ruang lingkup cerita yang lebih luas.
- Sbek Paor menggunakan wayang yang berwarna.
7.6. Film di Kamboja
Sinema di Kamboja dimulai sejak tahun 1950-an. Raja Norodon Sihanok sendiri merupakan “pecandu” film. Banyak film yang ditayangkan di bioskop diseluruh negara pada tahun 1960-an. Setelah rezim Khmer Rouge berakhir, perkembangan industri film di Kamboja melemah karena persaingan dari video dan televisi.
8. Olahraga di Kamboja
Olahraga berkembang pesat di Kamboja sejak 30 tahun terakhir. Sepakbola dibawa ke Kamboja oleh orang Perancis dan menjadi populer di Kamboja. Terdapat beberapa seni bela diri seperti bokator, pradal serey (tinju khas Khmer) dan gulat tradisional Khmer. Olahraga dari barat seperti voli, binaraga, hoki, golf, dan baseball juga populer di Kamboja. Lomba balapan termasuk lomba boat tradisional dan lomba balap kerbau. Phnom Pehn National Olympic Stadium adalah stadion nasional dengan kapasitas 50.000 orang di Phnom Penh. Kamboja pertama kali mengikuti olimpiade pada tahun 1956 dengan mengirimkan beberapa penunggang kuda. Kamboja juga pernah menjadi tuan rumah GANEFO pada tahun 1960-an. GANEFO adalah ajang olahraga internasional yang diciptakan Indonesia untuk memboikot Olimpiade. Di Kamboja diadakan Festival Bonn OmTeuk, yaitu festival balap perahu nasional yang diadakan setiap bulan November.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar